POLA DISTRIBUSI GAJAH SUMATERA
Milta Charennina
Fakultas Geografi UGM
I. PENDAHULUAN
Gajah sumatera merupakan salah satu subspesies gajah asia yang endemik di Pulau Sumatera. Spesies ini termasuk dalam daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) dengan status terancam punah (Critically Endangered). Gajah sumatera merupakan mamalia darat dengan pola hidup berkelompok yang dipimpin oleh betina dewasa (matrilineal) (Vidya & Sukumar 2005).
Gajah Sumatera ( Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu anggota dari ordo proboscidea yang terancam kelestariannya. Gajah dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu gajah Asia dan gajah Afrika. Gajah Sumatera merupakan satwa langka yang dilindungi undang-undang sejak zaman Belanda dengan Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 No 134 dan 266 (Jajak, 2004 : 16 ). Oleh karena itu menangkap gajah secara ilegal di habitat aslinya, memelihara tanpa izin dan memperjual-belikannya merupakan tindakan melawan hukum. Namun gajah yang mengganggu lahan pertanian dan pemukiman penduduk dapat ditangkap oleh aparat yang berwenang. Gajah hasil tangkapan kemudian dibawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG) yang merupakan tempat menjinakkan gajah hasil tangkapan (Alikodra, 1990 : 23).
II. DESKRIPSI
Gajah Sumatera termasuk binatang berdarah panas sehingga jika kondisi cuaca panas mereka akan bergerak mencari naungan (thermal cover) untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkungannya. Tempat yang sering dipakai sebagai naungan dan istirahat pada siang hari adalah vegetasi hutan yang lebat . Gajah Sumatera termasuk satwa herbivora sehingga membutuhkan ketersediaan makanan hijauan yang cukup di habitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium guna memperkuat tulang, gigi, dan gading. Karena pencernaannya yang kurang sempurna, ia membutuhkan makanan yang sangat banyak, yaitu 200-300 kg biomassa per hari untuk setiap ekor gajah dewasa atau 5-10% dari berat badannya. Gajah Sumatera mempunyai ukuran tinggi badan sekitar 1,7-2,6 meter. Jika dibandingkan dengan Gajah Afrika, ukuran Gajah Sumatera lebih kecil.
Gajah termasuk satwa yang sangat bergantung pada air, sehingga pada sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum, mandi dan berkubang. Seekor gajah Sumatera membutuhkan air minum sebanyak 20-50 liter/hari. Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50-100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya. Gajah juga membutuhkan garam-garam mineral, antara lain : calcium, magnesium, dan kalium. Garam-garam ini diperoleh dengan cara memakan gumpalan tanah yang mengandung garam, menggemburkan tanah tebing yang keras dengan kaki depan dan gadingnya, dan makan pada saat hari hujan atau setelah hujan. Gajah merupakan mamalia darat paling besar yang hidup pada zaman ini, sehingga membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas.Ukuran wilayah jelajah gajah Asia bervariasi antara 32,4 - 166,9 km2. Wilayah jelajah unit-unit kelompok gajah di hutan-hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan-hutan sekunder.
Di habitat alamnya, gajah hidup berkelompok (gregarius). Perilaku berkelompok ini merupakan perilaku sosial yang sangat penting peranannya dalam melindungi anggota kelompoknya. Besarnya anggota setiap kelompok sangat bervariasi tergantung pada musim dan kondisi sumber daya habitatnya terutama makanan dan luas wilayah jelajah yang tersedia. Jumlah anggota satu kelompok gajah Sumatera berkisar 20-35 ekor, atau berkisar 3-23 ekor.
Setiap kelompok gajah Sumatera dipimpin oleh induk betina yang paling besar, sementara yang jantan dewasa hanya tinggal pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina pada kelompok tersebut. Gajah yang sudah tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya. Gajah jantan muda dan sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Sementara itu, gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok "taman kanak-kanak" atau kindergartens.
Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap dan bisa melakukan kawin sepanjang tahun, namun biasanya frekwensinya mencapai puncak bersamaan dengan masa puncak musim hujan di daerah tersebut. Gajah jantan sering berperilaku mengamuk atau kegilaan yang sering disebut musht dengan tanda adanya sekresi kelenjar temporal yang meleleh di pipi, antara mata dan telinga, dengan warna hitam dan berbau merangsang. Perilaku ini terjadi 3-5 bulan sekali selama 1-4 minggu. Perilaku ini sering dihubungkan dengan musim birahi, walaupun belum ada bukti penunjang yang kuat. Gajah merupakan mamalia terrestrial yang aktif baik di siang maupun malam hari. Namun, sebagian besar dari mereka aktif dari 2 jam sebelum petang sampai 2 jam setelah fajar untuk mencari makan. Hal ini sependapat bahwa, gajah sering mencari makan sambil berjalan di malam hari selama 16-18 jam setiap hari.
III. POLA DISTRIBUSI
Saat ini kondisi populasinya semakin menurun seiring dengan tingginya laju kehilangan hutan Sumatera. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) saat ini berada dalam status Kritis (Critically Endangered) dalam daftar merah spesies terancam punah yang keluarkan oleh Lembaga Konservasi Dunia –IUCN). Di Indonesia, Gajah Sumatera juga masuk dalam satwa dilindungi menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah, yaitu PP 7/1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Dalam memilih habitatnya, Gajah Sumatera memperhitungkan berbagai kondisi faktor habitat misalnya ketersediaan tempat mencari makan, penutupan tajuk sebagai tempat berlindung dan tersediannya sumber air. Selain itu satwa liar ini juga memperhitungkan waktu melakukan berbagai aktivitas harian (Abdullah dkk, 2005 : 37-41). Perilaku harian dan pemilihan unit habitat diduga sangat dipengaruhi oleh kondisi habitat dan posisi unit habitat essensial dalam suatu ekosistem.
Habitat gajah meliputi seluruh hutan di pulau Sumatera dari Lampung sampai Provinsi Aceh, mulai dari Hutan Basah Berlembah dan Hutan Payau di dekat pantai sampai Hutan Pegunungan pada ketinggian 2000 m. Kelangsungan hidup Gajah Sumatera makin terancam karena tingginya tekanan dan gangguan serta kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara hidup gajah di habitat aslinya yang dibutuhkan sebagai acuan pengelolaan populasi alami. Pada dasarnya gajah sangat selektif dalam memilih habitatnya, karena gajah merupakan salah satu hewan yang memiliki kepekaan. Pengetahuan ekologis tentang bagaimana strategi gajah menggunakan habitat dan sumber daya masih sangat terbatas. Dalam mencukupi kebutuhan makan dan menghindari terik matahari gajah selalu mempertimbangkan lokasi mencari makan yang optimal yaitu menghabiskan waktu di hutan primer (terlindung) pada siang hari dan keluar ke hutan bukaan (hutan skunder) pada saat panas matahari telah berkurang untuk mencukupi kebutuhan makan hariannya (Soeriatmadja, 1982 : 4). Saat ini habitat gajah yang diduga masih layak adalah Kawasan Ekosistem Seulawah. Melihat karakteristik ekosistem Seulawah yang masih alami, maka perlu ditinjau faktor habitat apa saja yang berpengaruh dalam pemilihan habitat oleh Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Namun akibat perambahan hutan kondisi lokasi habitat yang sering digunakan gajah di Ekosistem Seulawah berubah serta termasuk daerah perambahan hutan yang sangat tinggi. Ekosistem Seulawah memang dijadikan salah satu tempat Kawasan Konservasi di Aceh. Oleh karena itu maka penulis berkeinginan untuk menulis skripsi dengan judul: Karakteristik Habitat Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Kawasan Ekosistem Seulawah Kabupaten Aceh Besar.
IV. FAKTOR PERUBAHAN POLA DISTRIBUSI
Masuknya Gajah Sumatera dalam daftar hewan punah disebabkan oleh aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, serta pembunuhan akibat konflik dan perburuan. Perburuan biasanya hanya diambil gadingnya saja, sedangkan sisa tubuhnya dibiarkan membusuk di lokasi. Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit sebagai salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera, mendorong terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak. Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya dengan peracunan) dan penangkapan.
Ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Provinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap ‘hama’ ini. Gajah juga membutuhkan suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian. Oleh karena itu, penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan HPHA diperkirakan telah mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah karena aktivitas pengusahaan dengan intensitas yang tinggi dan penggunaan alat-alat berat di dalamnya.
V. POTENSI PERUBAHAN DISTRIBUSI DI MASA DEPAN
Beberapa tahun terakhir ini, perlindungan gajah sumatera menjadi masalah yang serius. Salah satu penyebabnya adalah kematian gajah yang tinggi di Sumatera sejak tahun 2012 dan kenaikan tingkat kematian tersebut signifikan. Untuk kasus Riau, catatan kematian gajah tahun 2009 adalah 8 individu kematian gajah dan tahun 2012 meningkat mencapai 15 individu (hampir 100%) dan di tahun 2013 adalah 16 individu. Tahun 2014, catatan terbaru pada tanggal 16 Februari 2014, 7 individu gajah mati di wilayah Selatan Tesso Nilo, Riau. Meskipun hanya tinggal tulang belulang yang ditemukan, tetapi masih adanya kematian gajah di Riau atau Sumatera secara keseluruhan adalah potret buram bagi masa depan kelangsungan populasi Gajah Sumatera.
Persoalan – persoalan laju perubahan bentang lahan yng tidak terselesaikan, perambahan di dalam kawasan konservasi legal dan belum ada penanganan kematian gajah terutama penegakan hukum, meskipun berbagai upaya dilakukan menjadi penyebab bahwa populasi gajah sumatera di Riau dan Sumatera secara keseluruhan dalam kondisi masa depan yang suram.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Vidya TNC, Sukumar R. 2005. Social Organization of The Asian Elephant (Elephas maximus) in Southern India Inferred from Microsatelite DNA. J. Ethology 23: 205-210.
Jajak M.D. 2004. Binatang-Binatang Yang Dilindungi. Jakarta: Progres.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Anatar Universitas Ilmu Hayat Institute Pertanian Bogor.
Abdullah, D.N. Choesin dan A.Sjarmidi. 2005. Estimasi Daya Dukung Pakan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temmick) di Kawasan Hutan Tessonilo. Bandung: Prov Riau. Jurnal Ekologi dan Biodiversitas ITB Vol.4 No. 2.(HAL.37-41)
Soeriatmadja, R.E. 1982. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Jakarta: Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
Komentar
Posting Komentar